Sabtu, 28 April 2012

MOA FUNGISIDA: RESPIRASI


MOA FUNGISIDA: RESPIRASI


            Sistem respirasi sel terjadi di dalam mitokondria. Secara struktural bersifat unik karena memiliki 2 membran, yaitu membran dalam dan membran luar, matriks, ruang intermembran, dan cristae (krista).
mitomaster1



                                               Gambar. 1. Mitokondria

Komponen yang terlibat adalah :
·         NAD+ dan NADH
Nicotinamide Adenine Dinucleotide, dibentuk oleh penambahan inti Hidrogen dan dua elektron hydride ion ke NAD+.  Cincin Nicotinamide akan kurang stabil saat menerima ion hidrida, akibatnya elektron ion hidrida dari NADH dapat dengan mudah ditransfer.
·         Protein Fe-S (Besi Sulfur)
Berikatan dengan flavoprotein (metaflavoprotein) dan dengan sitokrom b
·         Ubiquinone/Coenzyme Q
Terdapat dalam mitokondria dalam bentuk kuinon teroksidasi (aerob) dan kuinol tereduksi (anaerob), merupakan unsure pembentuk lipida, rumus bangun mirip vitamin K dan E, menyerupai plastokuinon (pada kloroplas), rantai samping poliisosprenoid, pengumpul ekivalen pereduksi dari suksinat kolinn, gliserol-3-fosfat, sarkosin, dimetilglisin, asilkoa, yang berikatan langsung dengan rantai respirasi lewat enzim (Flavoprotein dehidrogenase), menerima aliran ekivalen pereduksi dari NADH Dehidrogenase, mengalirkan elektron melewati rangkaian sitokrom menuju molekul Oksigen.

Membran luar berbeda dengan membran dalam karena lebih berpori. Sehingga membran dalam berfungsi sebagai barier / penahan bagi berbagai metabolit.  Protein yang berfungsi untuk respirasi berada di inner membran. Sehingga densitas krista pada suatu sel menggambarkan aktifitas respirasi pada  suatu sel. Membran dalam mitokondria terdapat komplek protein I–V. Komplek I  menerima electron dari NADH. Elektron dari FADH2 ditransfer ke komplek protein lain yg disebut komplek II  yang kemudian ditangkap oleh Coenzim Q dan seterusnya. Protein komplek yang mentransfer elektron tsbt  dikenal sebagai sistem transpor electron (STE). Setelah elektron melewati komplek IV, proton akan didonorkan kepada O2 membentuk H2O.  Selama elekton bergerak melalui komplek I, III dan IV dari STE, proton dipompa dari matriks ke ruang intermembran mitokondria, sehingga akan menghsilkan sumber energi potensial dengan konsentrasi proton di ruang inter membrane lebih tinggi dibanding dengan di dalam matrik .

Gambar. 2. Sistem transpor elektron(STE)

Terdapat protein-protein yang memiliki kelebihan untuk memindahkan elektron ke aseptor elektron berikutnya dan mengeluarkan ion H+ dari matriks (yang dilepaskan NADH kematriks mitokondria)  ke ruang antar membran pada mitokondria. Akibatnya ruang antar membran lebih kaya ion hidrogen dibandingkan dengan matriks mitokondria.  Sedangkan protein yang palaing kanan adalah ATP-sintase yang berfungsi menggabungkan ADP dengan P untuk membentuk ATP.  Transpor elektron adalah tahap akhir dalam respirasi sel aerobik yang meliputi proses perpindahan elektron dari molekul donor (misal: NADH, substrat organik) menuju aseptor terakhir yakni oksigen. Adapun mekanismenya adalah :
1.      Pengikatan NADH pada kompleks enzim I, dan diikuti pelepasan 2 elektron.  Elektron memasuk kompleks enzim I via gugus prostetik FMN yang melekat pada kompleks enzim I.  Penempelan tersebut mengubah FMN menjadi dalam bentuk tereduksi FMNH2 yang berarti merupakan oksidator yang kuat dan akan diteruskan ke rangakaian cluster besi dan sulfur (gugus prostetic berikutnya) sepanjang kompleks enzim I.  Setelah elektron melewati kompleks enzim I, maka 4 proton akan dipompa dari matriks mitokondria ke ruang antar membran. Secara pasti penjelasan peristiwa  ini masih belum jelas dalam dunia ilmiah, tetapi untuk sementara dijelaskan dengan keterlibatan perubahan komformasi bentuk kompleks enzim I yang menyebabkan protein mengikat proton pada sisi-N dari membran dan membebaskan mereka pada sisi-P membran.  Akhirnya, elektron ditransfer dari rantai cluster besi-sulfur ke molekul ubikuinon (Q) di membran dalam.  Reduksi ubikuinon juga memberi kontribusi untuk menciptakan gradient proton dengan cara mengeluarkan dari matriks pada saat tereduksi menjadi ubikuinol (QH2).
2.      Succinate-Q oxidoreductase, dikenal juga sebagai kompleks enzim II/ suksinat dehidrogenase, adalah entri point kedua dalam sistem transport elektron.  Kompleks enzim II terdiri dari 4 sub unit dan mengandung ikatan kofaktor flavin adenin dinukleotida (FAD), klaster besi-sulfur, dan sebuah gugus heme yang tidak berpartisipasi pada transfer elektron ke koenzim Q.  Kompleks enzim II mengoksidasi suksinat menjadi fumarat dan mereduksi ubikuinon.  Pembebasan energi yang dihasilkan lebih kecil dari pada oksidasi NADH, komleks II tidak memindahkan elektron melewati membran dan tidak memberikan kontribusi membentuk gradien proton.
                       
3.      Q-cytochrome c oxidoreductase. Q-sitokrom c oksidoreduktase juga dikenal dengan kompleks sitokrom bc1, atau kompleks III. Setiap kompleks mengandung 11 subunit protein, sebuah[2Fe-2S] klaster besi-sulfur dan 3 cytochromes: 1 cytochrome c1 and 2 b cytochromes.  Sitokrom adalah semacam protein yang bisa mentransfer elektron yang mengandung sekurang-kurangnya gugus heme.  Atom besi yang terdapat pada kompleks III memberikan bentuk alternatif  antara ferro yang tereduksi dan feri yang teroksidasi karena elektron yang ditranser sepanjang membran.  Reaksi yang dikatalisis oleh kompleks III adalah mengoksidasi satu molekul ubikuinol dan mereduksi 2 molekul sitokrom c.  Sebuah protein heme kehilangan hubungan dengan mitokondria.  Tidak seperti koenzim Q yang membawa 2 elektron, sitokrom c hanya membawa 1 elektron saja.


Karena hanya bisa mengangkut satu elektron saja dari QH2 ke sitokrom c dalam sekali waktu makaharus terjadi dalam 2 tahap yang disebut siklus Q.  Kemudian karena koenzim Q tereduksi menjadi ubikuinol pada sisi dalam membran dan teroksidasi menjadi bentuk ubikuinon di bagian luar, pengeluaran proton terjadi lagi sehingga menambahkan kekuatan gradient proton.
4.      Cytochrome c oxidase, dikenal juga sebagai kompleks IV, merupakan kompleks protein yang terakhir dalam STE. Mengandung 13 subunit protein, 2 gugus heme, 3 atoms ion logam yaitu 1 tembaga, 1 magnesium and 1 seng.  Enzim ini berfungsi mentransfer elektron ke oksigen, sementara memompa proton melewati membran sehingga berkontribusi dalam menciptakan gradien proton.  Oksigen sebagai aseptor elektron terakhir akan direduksi menjadi air pada tahap ini.  Reaksinya yaitu mengkatalisis oksidasi sitokrom c dan reduksi oksigen, menerima aliran ekivalen pereduksi dari NADH Dehidrogenase, mengalirkan elektron melewati rangkaian sitokrom menuju molekul Oksigen.


Complex I NADH Oxido-reductase            
Pada kompleks ini fungisida yang berperan berasal dari golongan pyrimidinamines.  Fungisida ini akan menghambat proses pengikatan NADH pada kompleks enzim I NADH oksidoreduktase, pengikatan NADH pada kompleks enzim I nantinya akan mengubah FMN menjadi dalam bentuk tereduksi FMNH2 untuk selanjutnya terjadi transpor elektron, karena proses tersebut diblok oleh pyrimidinamines sehingga tranfer elektron tidak akan terjadi. Penghambatan sistem transpor elektron menghambat produksi ATP dan menyebabkan penurunan konsumsi oksigen oleh mitokondria.  Gangguan-gangguan dalam setiap tahap reaksi ini akan menggaggu perolehan energi yang diperlukan yang akhirnya menghambat pertumbuhan dan jasad akan mati karena kehabisan tenaga untuk tumbuh dan berkembang.
Gambar. 3. Sistem transpor elektron (STE)
 
Complex II: succinate-dehydro-genase      
Kompleks enzim II atau suksinat dehidrogenase adalah enzim yang terikat pada membran yang merupakan titik masuknya FADH2 yang diproduksi oleh suksinat dehidrogenase.  Elektron dari FADH2 akan didonorkan ke ubiquinone.  SDHI (Succinate dehydrogenase inhibitors) berperan sebagai inhibitor enzim suksinat dehidrogenase, sehingga produksi FADH2 akan terganggu, jika hal ini terjadi maka sistem transpor elektron pun juga akan terganggu.  Gangguan-gangguan dalam setiap tahap reaksi ini akan menggaggu perolehan energi yang diperlukan sehingga jamur akan mati.

Complex III mitocondria
Gangguan metabolisme energi terjadi di dalam mitokondria dan biasanya mengambil bentuk sebagai penghambatan suatu sistem transpor elektron atau uncoupling dari sistem transportasi dari produksi ATP.  Salah satu fungisida yang menghambat kompleks III adalah hydramethylnon, hydramethylnon bertindak atas mitokondria di mana ia mengganggu respirasi sel dengan menghambat rantai transpor elektron (STE) dengan memblok kompleks III yaitu kompleks sitokrom c reduktase atau kompleks bc1 menuju Fe-S pada sistem transpor elektron.  Terdapat dua tipe inhibitor pada kompleks ini yaitu cytochrome bc1 (ubiquinol oxidase) pada situs Qo (cyt b gene) dan cytochrome bc1(ubiquinone reductase) pada situs Qi.  

Gambar. 4A. Jalur transfer elektron dari ubiquinol menuju sitokrom-c.
Ubiquinol dapat mereduksi citokrom-b baik sepenuhnya melalui sisi Qo dengan adanya antimycin atau sebagian melalui sisi Qi ketika sisi Qo diblok oleh adanya inhibitor. Reduksi sitokrom-b sepenuhnya diblok hanya ketika inhibitor dari kedua sisi yaitu sisi Qi (antimycin) dan sisi Qo ditambahkan bersama-sama. Eksperimen klasik dikenal sebagai "double membunuh" experiment 4(Gambar. 4).
Jalur transpor elektron dari ubiquinol menuju sitokrom-c melalui kelompok prostetik redoks dari kompleks sitokrom digambarkan sebagai serangkaian reaksi, yang ditunjukkan oleh panah padat. Panah putus-putus menggambarkan pergerakan ubiquinol dan ubiquinone antara situs dimana ubiquinol teroksidasi pada bagian luar membran (pusat Qo) dan situs di mana ubiquinone dan semiubiquinone tereduksi pada bagian dalam dari membran (pusat Qi). Panah yang kuat menunjukkan reaksi di mana proton dilepaskan selama oksidasi ubiquinol dan ditangkap selama reduksi ubiquinone (Gambar. 4A).
Gambar. 4B: secara sederhana menunjukkan reduksi sitokrom b dengan perlakuan dengan inhibitor Qo. Heme bH tereduksi sangat kuat (hitam) sedangkan heme bL tidak atau hanya tereduksi sebagian (abu-abu) karena kondisi termodinamika yang kurang baik.  Gambar. 4C: secara singkat menunjukkan reduksi sitokrom b dengan perlakuan dengan inhibitor Qi. Kedua heme bL dan bH sepenuhnya tereduksi (hitam).  Gambar. 4D: Kombinasi dari inhibitor Qo dan Qi tidak memungkinkan terjadinya reduksi heme, tidak dengan cara biasa maupun dengan cara terbalik ("membunuh ganda").
            Jika reduksi tidak terjadi, dengan demikian transpor elektron juga tidak akan terjadi. Penghambatan sistem transpor elektron menghambat produksi ATP dan menyebabkan penurunan konsumsi oksigen oleh mitokondria.  Gangguan-gangguan dalam setiap tahap reaksi ini akan menggaggu perolehan energi yang diperlukan yang akhirnya menghambat pertumbuhan dan jasad akan mati karena kehabisan tenaga untuk tumbuh dan berkembang.
.
Inhibitors of oxidative phosphorylation, ATP synthase   
Fosforilasi oksidatif adalah suatu lintasan metabolisme dengan penggunaan energi yang dilepaskan oleh oksidasi nutrien untuk menghasilkan ATP, dan mereduksi gas oksigen menjadi air. Walaupun banyak bentuk kehidupan di bumi menggunakan berbagai jenis nutrien, hampir semua organisme menjalankan fosforilasi oksidatif untuk menghasilkan ATP, oleh karena efisiensi proses mendapatkan energi, dibandingkan dengan proses fermentasi alternatif lainnya seperti glikolisis anaerobik.
Menurut teori kemiosmotik yang dicetuskan oleh Peter Mitchell, energi yang dilepaskan dari reaksi oksidasi pada substrat pendonor elektron, baik pada respirasi aerobik maupun anaerobik, perlahan akan disimpan dalam bentuk potensial elektrokemis sepanjang garis tepi membran tempat terjadinya reaksi tersebut, yang kemudian dapat digunakan oleh ATP sintase untuk menginduksi reaksi fosforilasi terhadap molekul adenosina difosfat dengan molekul Pi.
Elektron yang melekat pada molekul sisi dalam kompleks IV rantai transpor elektron akan digunakan oleh kompleks V untuk menarik ion H+ dari sitoplasma menuju membran mitokondria sisi luar, disebut kopling kemiosmotik, yang menyebabkan kemiosmosis, yaitu difusi ion H+ melalui ATP sintase ke dalam mitokondria yang berlawanan dengan arah gradien pH, dari area dengan energi potensial elektrokimiawi lebih rendah menuju matriks dengan energi potensial lebih tinggi. Dari teori ini, keseluruhan reaksi kemudian disebut fosforilasi oksidatif.
Fungisida yang berperan sebagai inhibitor fosforilasi oksidatif ATP sintase adalah golongan senyawa organo tin, senyawa ini akan memblok pembentukan ATP sehingga akan menggaggu perolehan energi yang diperlukan yang akhirnya menghambat pertumbuhan dan jasad akan mati karena kehabisan tenaga untuk tumbuh dan berkembang.

MOA INSEKTISIDA Inhibitor Biointesis Chitin untuk Insektisida


MOA INSEKTISIDA
Inhibitor Biointesis Chitin untuk Insektisida

Chitin adalah homopolimer dari N-asetilglucosamine (gambar 1) yang ditemukan pada invertebrata khususnya pada serangga dan crustaseae, yang berfungsi untuk memberikan rigiditas (kekakuan) dan melindungi barrier (sawar).  Struktur kimia kitin mirip dengan sellulosa tetapi struktur kristalnya sangat keras karena adanya gugus asetamida pada posisi C2 menggantikan gugus –OH pada sellulosa, sehingga hanya sedikit solven yang dapat melarutkannya.



Gambar 1. Struktur chitin

Kitin adalah komponen utama penyusun dinding eksoskeleton crustaceae, kurtikula serangga, nematoda, dan mikofauna.  Beberapa senyawa alami yang mampu menghambat biosintesis kitin yaitu Trehazolin (21) yaitu turunan aminocyclitol N-substituted cyclic isourea, penghambat (in vitro) pada trehalase.





Trehalase adalah enzim yang dibutuhkan untuk hidrolisis trehalose (22) yaitu prekusor karbohidrat pada kitin.  Allosamidin (23) merupakan turunan karbohidrat isourea, mempunyai aktifitas menghambat yang tinggi pada kitinase (enzim untuk hidrolisis kitin).  Baik trehazolin dan allosamidin mempunyai banyak gugus hidroksi, sehingga dapat menembus kulit luar serangga dan mencapai spesifik targetnya.
Nikkomycin dihasilkan dari kultur Streptomyces tendae, sebagai inhibitor sintesis kitin paling kuat.  Difluorobenzuron adalah inhibitor dengan efisiensi tinggi dan selektif terhadap tingkat larva lepidopteran, tidak bersifat akut dan kronis, aman bagi ikan dan invertebtara akuatik.  Heksaflumuron menunjukkan aktivitas kuat terhadap larva anai-anai.  Terganggunya proses pembentukan kitin larva tidak dapat melanjutkan pertumbuhannya secara normal dan akhirnya mati.

Senyawa dengan aktifitas antifeedant (Fig.14) yaitu mempunyai aktifitas insektisida, mengandung senyawa oxadiazole dan turunan pyridazinone.  Senyawa ini mampu menghambat pembentukan N-asetilglukoaminase sampai biosintesis kitin dan aktifitas antifeedant pada larva serangga.

Berikut ini jenis insektisida penghambat biosintesis kitin yang ada di pasaran dan cara kerjanya.
a.       Flufenoksuran; diperkenalkan pertama kali pada tahun 1988.  Inseksida dan akarisida dari sub-kelompok benzoylurea ini bertindak sebagai racun kontak dan racun perut serta bekerja sebagai penghambat sintesis kitin. Serangga dewasa yang terpapar oleh insekstisida ini akan menghasilkan telur yang tidak subur. Flufeneksuron digunakan untuk mengendalikan stadia nimfa dari berbagai jenis tungau (Aculus, Brevipalpus, Panonichus, Phyllocoptruta, dan Tetranichus) serta berbagai serangga hama. LC50 inhalasi (4 jam, tikus) 5 mg/liter udara ; dan NOEL (1 tahun, anjing 100 mg/kg diet.
b.      Heksaflumuron; diperkenalkan pada tahun 1983.  Keluarga sub-kelas bensoylurea ini merupakan insektisida penghambat sintesis kitin yang bersifat sistemik dan bekerja terutama sebagai racun perut.  Dalam bidang pertanian, heksaflumuron digunakan untuk mengendalikan serangga hama dari ordo Lepidoptera, Coleoptera, Homoptera, dan dipteral pada buah-buahan, kapas, dan kentang. LD50 (tikus) sekitar > 5.000 mg/kg tidak menyebabkan iritasi kulit dan mata (kelinci); LC50 inhalasi 2,5 mg/liter udara; NOEL (2 tahun,tikus) 75 mg/kg hari; dan ADI 0,02mg/kg berat badan.
c.       Lufenuron; dipublikasikan pertama kali pada tahun 1989 dan dipasarkan pada tahun1990. Insektisida dan akarisida benzoylurea ini bekerja sebagai racun perut dengan mode of action penghambat sintesis kitin sehingga serangga yang memakannya tidak bisa bermetamorfosa dan berhenti makan.  Lufenuran diaplikasikan untuk mengendalikan Lepidoptera, Coleoptera, kutu kebul, serta beberapa tungau pada sayuran, buah-buahan, dan tanaman lainnya.  Lufenuron juga digunakan dalam kesehatan hewan. LD50 (tikus) sekitar >2.000 mg/kg; LD50 (dermal tikus) sekitar > 2.000 mg/kg tidak menyebabkan iritasi kulit dan mata; LC50 inhalasi (4 jam, tikus) > 2,35 mg/liter udara; NOEL (1 tahun, anjing) 2 mg/Kg bb/hari; dan ADI 0,01 mg/kg bb.
d.      Novaluron; merupakan insektisida racun kontak dan racun perut yang bekerja dengan menghambat senyawa kitin.  Anggota sub-kelompok benzoylurea ini dikembangkan untuk mengendalikan larva Lepidoptera, kutu kebul (Bemisia tabaci), penggorok daun pada beberapa tanaman buah dan sayuran, serta jagung dan kapas.  LD50 (tikus) sekitar > 5.000 mg/kg; LD50 dermal (tikus) > 2.000 mg/kg tidak menyebabkan iritasi kulit dan mata; LC50 Inhalasi (4 Jam,Tikus) > 5,15 mg/liter udara; NOEL (2 tahun, tikus) 1,1 mg/kg berat badan/hari.
e.       Triflumuron; diumumkan pertama kali pada tahun 1979.  Inseksida dari sub-kelompok benzoylurea ini bekerja sebagai penghambat sintesis kitin dan bertindak sebagai racun perut.  Triflumuron digunakan untuk mengendalikan larva Lepidoptera, Diptera, dan Coleoptera.  LD50 (tikus) sekitar > 5.000 mg/kg ; LD 50 dermal (tikus) > 5.000 mg/kg tidak menyebabkan iritasi kulit dan mata;  LC50 inhalasi (4 jam, tikus 0,12 mg/liter udara; NOEL (1 tahun, tikus) 20 mg/kgdiet; dan ADI 0,0072 mg/kg berat badan.
f.       Teflubenzuron; diumumkan pada tahun 1983 dan dipasarkan pada tahun 1984. Teflubenzuron termasuk dalam sub kelompok organofluorurea dan merupakan penghambatsintesis kitin.  Non-sistemik, bekerja terutama sebagai racun perut.  Teflubenzuron berpengaruh terhadap kesuburan serangga betina yang terkena teflubenzuron baik secara kontak maupun termakan dan digunakan untuk mengendalikan Lepidoptera, Coleoptera, Diptera, Aleyrodidae, Hymenoptera, Psyllidae, dan Hemiptera pada berbagai tanaman sayuran serta buah-buahan.  LD50 (tikus) sekitar > 5.000 mg/kg ; LD50 dermal (tikus) > 2.000 mg/kg tidak menyebabkan iritasi kulit dan mata; LC50 Inhalasi > 5.000 mg dust/liter udara; NOEL (2 tahun, tikus) 8 mg/kg bb/hari; dan ADI 0,01 mg/kg bb.